FRAKTUR PENIS
I. PENDAHULUAN
Fraktur penis merupakan kedaruratan urologi yang jarang terjadi, pertama kali dilaporkan pada tahun 1924, sebanyak 183 laporan telah dipublikasikan dengan 1331 kasus sejak tahun 1935 sampai dengan tahun 2002. Fraktur penis adalah ruptur satu atau kedua korpus kavernosum penis dengan atau tanpa korpus spongiosum karena trauma tumpul pada penis yang ereksi. Penyebab tersering adalah trauma saat koitus, penyebab lainnya adalah masturbasi, manipulasi penis nokturnal yang tidak disadari atau untuk mengurangi ereksi, jatuh dengan penis ereksi terbentur benda tumpul, atau penis yang terjepit pada celana yang ketat. Kebanyakan (75 %) terjadi pada satu sisi, 25 % pada kedua sisi, dan 10 % dari keduanya melibatkan uretra.1,2,3,4
Pada saat ereksi aliran darah arteri ke penis menyebabkan korpus kavernosum dan spongiosum membesar ke arah longitudinal dan transversal sehingga penis menjadi keras dan mobilitasnya berkurang, tunika albuginea lebih tipis dari 2 mm mencapai 0,5 – 0,25 mm sehingga mudah robek jika terjadi trauma. Penis akan udem, timbul hematom, terasa sangat nyeri, dan bengkok ke arah yang berlawanan dari sisi fraktur. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya tahanan pada sisi yang mengalami fraktur. Hematom biasanya terbatas sampai fasia Buck’s, jika fasia Buck’s ikut terlibat maka hematom dapat sampai ke skrotum, perineum anterior, dan dinding abdomen bagian bawah. Umumnya penderita mengeluh fraktur penis akibat koitus dengan posisi pasangan di atas tubuh mengangkangi penis. Saat koitus penis keluar dari vagina dan saat akan dimasukkan kembali penis membentur pubis atau perineum. Semua penderita melaporkan adanya bunyi retak yang khas (“Cracking sound”) diikuti dengan hilangnya ereksi, nyeri hebat, penis udem dan berubah warna, serta terjadi perubahan bentuk penis.4,5.6
Sebelum tahun 1971, terapi pada fraktur penis dilakukan dengan cara konservatif yaitu dengan bidai penis, kompres es, enzim streptokinase untuk mencegah udem, sedatif dan estrogen untuk mencegah ereksi. Terapi ini perlahan berubah sejak 1986, dimana sekitar 80 % penderita fraktur penis dilakukan tindakan pembedahan. Tindakan bedah pada fraktur penis dilakukan untuk mencegah komplikasi, adapun komplikasi yang bias terjadi yaitu : disfungsi ereksi, abses penis, nodul pada sisi ruptur, kurvatura penis permanen, nyeri pada saat ereksi, fistula corpouretral, fistula arteriovenosa, dan terbentuknya plak fibrotik. Tiga jenis insisi yang dilakukan pada tindakan bedah yaitu : insisi langsung di atas defek, insisi circumscribing-degloving, dan insisi inguinal skrotal.4
II. ANATOMI dan FISIOLOGI
Penis terdiri atas 3 bagian utama yaitu, 2 yang besar di atas yaitu Corpora Cavernosa berfungsi yang ketika ereksi, dan 1 bagian yang lebih kecil di bawah yaitu Corpora Spongiosa yang berfungsi sebagai saluran air seni ketika kencing dan senagai saluran untuk sperma ketika berejakulasi. Kalau mendapat ereksi, otak melepaskan hormon, yang mengirimkan impuls agar darah mengisi penis, dalam hal ini Corpora Cavernosa hingga mencapai maksimum, akibatnya penispun menegang dan membesar.3
Gambar I : Anatomi penis
( Dikutip dari kepustakaan 3 )
Gambar 2 : Anatomi penis
( Dikutip dari kepustakaan 3 )
Kedua korpus cavernosa diliputi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea, yang merupakan lapisan jaringan kolagen yang padat dan di sebelah luarnya terdapat jaringan yang kurang padat yang disebut sebagai fascia buck. Korpus cavernosa terdiri atas gelembung-gelembung yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdiri atas lapisan endothel yang sangat berperan dalam reaksi kimiawi untuk menghasilkan ereksi, serta diliputi oleh otot polos atau yang disebut dengan istilah tabekel . Korpus cavernosum diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria helicina.7
Pendarahan penis berasal dari arteri pudenda interna yang selanjutnya menjadi arteria penis communis, memiliki 3 cabang yakni 2 cabang ke korpus kavernosus kiri dan kanan yang dikenal sebagai arteria kavernosa atau arteria penis profundus. cabang ketiga ialah arteria bulbourethralis yang memvaskularisasi daerah korpus spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah banyak dan cepat kemudian terkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi.7
Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel mengembang karena terkumpulnya darah pada seluruh korpus kavernosum, maka vena-vena di sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari Corpora Cavernosa pada rongga penis ke sistem vena besar dan akhirnya kembali ke jantung.7
Gambar 3 : Arteri yang memperdarahi penis
( Dikutip dari kepustakaan 3 )
Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan vena – vena (sistem pembuluh darah balik) yang mengumpulkan darah pada suatu pleksus vena dan kemudian mengalirkannya kembali melalui vena dorsalis profunda, lalu ke jantung.7
Gambar 4 : vena – vena penis
( Dikutip dari kepustakaan 3 )
Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis dan simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis.
Gambar 5 : persarafan penis
( Dikutip dari kepustakaan 14,15 )
Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla spinalis pada kolumna vertebralis di S2-4. Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus kavernosus. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot- otot polos.
Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada corpus dan glans penis, membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu dengan syaraf-syaraf lain yang membentuk nervus pudendus. Syaraf ini juga berlanjut ke medulla spinalis melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara sendiri atau bersama-sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan ereksi penis.7
III. ETIOLOGI1,2,3,6,8,9
Fraktur penis adalah robeknya tunika albuginea, korpus kavernosum pada saat ereksi. Khasnya fraktur terjadi karena aktivitas seksual yang terlalu semangat. Saat koitus penis keluar dari vagina dan saat akan dimasukkan kembali penis membentur pubis atau perineum.
Tunika albuginea memiliki struktur bilaminar (masuk circular, keluar longitudinal). Lapisan luar menentukan kekuatan dan ketebalan dari tunika yang mana bervariasi pada tempat yang berbeda sepanjang batang (Hsu et al,1994; Brock et al,1997). Kemampuan renggang dari tunika albuginea sangat luar biasa. Rupture tertahan hingga kenaikan tekanan intracavernosa lebih dari 1500 mmHg (Bitcsh et al, 1990). Ketika ereksi penis membengkok, tiba-tiba tekanan intrakavernosa meningkat melampaui daya rentang dari tunika albuginea.
Mengingat sering di laporkan fraktur penis terjadi karena hubungan seksual, ini juga dikarenakan masturbasi, gerakan yang berlebihan atau jatuh pada saat penis sedang ereksi. Di Timur Tengah dominasi fraktur yang terjadi karena perbuatan sendiri, penis dipaksa untuk ereksi saat masturbasi dalam artian untuk mencapai detumesence ( melemah).
IV. PATOFISIOLOGI1
Pada fase flasid, jarang terjadi trauma karena adanya gerakan yang lentur dari penis. Tetapi pada waktu ereksi, darah mengalir ke penis yang menyebabkan badan erektil membesar secara longitudinal dan tranversal. Hal ini menyebabkan penis yang flasid menjadi ereksi penuh dan mengeras ( tumescence).
Ketika penis berubah dari fase falsid ke ereksi, tunika albuginea merenggang dari 2 mm menjadi 0,25-0,5 mm, mengeras dan tidak lentur. Perenggangan dan mengerasnya tunika albuginea menghalangi aliran balik vena dan menyebabkan penis mengeras selama pria ereksi.
Trauma yang tiba-tiba terjadi pada penis atau bengkoknya penis yang tidak normal pada saat ereksi dapat menyebabkan robekan tranversa dari tunika albuginea sebesar 0,5-4 cm, dengan trauma di dasar corpus kavernosum. Robekan miring atau irregular bisa saja terjadi. Hal ini juga dapat disertai dengan atau tanpa adanya kerusakan kerusakan pada uretra.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis dari fraktur penis dapat langsung di tegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisis. Pasien umunya mengatakan adanya bunyi lapisan tunika yang retak, diikuti dengan rasa nyeri, detumescence dan perubahan warna serta udem pada batang penis. Jika Fascia Buck utuh, hematom pada penis dapat terjadi di antara kulit dan tunika, menghasilkan deformitas eggplant yang khas ( gambaran mirip buah terong ).1,3
Gambar 6 : Fraktur penis dengan Fascia Buck yang utuh, tampak
hematom mengelilingi batang penis
( Dikutip dari kepustakaan 10 )
Jika Fascia Buck terganggu, hematom dapat meluas hingga ke scrotum, perineum dan regio suprapubik. Bengkak, ekimosis phallus sering deviasi kearah yang berlawanan dengan lapisan tunika karena pengaruh dari hematom dan massa. Fraktur yang mengenai tunika albuginea mungkin dapat di palpasi. Bekuan darah secara langsung pada daerah fraktur dapat di palpasi. Tanda pasti dengan gambaran “rolling sign” dengan ciri mobile, nyeri yang sangat pada bengkak di penis dapat dihubungkan (Naraysingh and Raju,1985).
Gambar 7 : Fraktur penis dengan fraktur Fascia Buck, hematom melebar hingga fascia Colles mengenai penis, scrotum dan perineum dengan bentuk “Butterfly”
( Dikutip dari kepustakaan 10 )
Pasien yang pada saat yang bersamaan mengalami trauma uretra mengeluhkan adanya hematuria. Kira-kira 30% pria dengan fraktur penis memperlihatkan darah dalam meatus. Beberapa pasien mengalami dysuria atau riwayat retensi urin. Retensi kemungkinan disebabkan luka pada uretra atau hematom periurethral yang menyebabkan obstruksi saluran kemih.1
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien dengan fraktur penis, pemeriksaan radiologi diperlukan untuk memastikan diagnosis dari pemeriksaan klinik atau ketika nyeri hebat pada tempat tertentu dan bengkak menghalangi pemeriksaan fisis.10,11.
1. ULTRASONOGRAPHY
Ultrasonography digunakan untuk mengetahui tempat sobekan yang tepat sebagai gangguan dari jalur echogenic dari tunika albuginea. Ruptur albuginea yang kecil dapat di identifikasi menggunakan color Doppler ultrasonography dengan menekan batang penis dan menggambarkan blood flush dari corpus cavernosa hingga lesi.10
Gambar 8 : Fraktur penis. Bagian axial menunjukkan robekan yang besar dari tunika albuginea (panah keluar) yaitu gangguan dari jalur echogenic dari tunika albuginea (ujung panah) di sebelah kanan korpus kavernosum. Hematom ekstraalbugineal (*) juga nampak.
( Dikutip dari kepustakaan 10 )
Gambar 9 : Gambaran ultrasound penis. Tampak axial dengan pemeriksaan bagian ventral. Nampak kehilangan kontinuitas dan irregular pada aspek lateral dari corpus kavernosum kanan (panah putih) menunjukkan hematom yang besar. S= corpus spongiosum, RT= right corpus cavernosum, LT= left corpus cavernosum.
( Dikutip dari kepustakaan 11 )
2. MRI
MRI lebih akurat dalam menggambarkan lokasi, dan robekan tunika yang luas, yang mana bermanifestasi untuk diskontinuitas dari tunika albuginea. Selebihnya karena tunika albuginea ditunjukkan dengan low signal kedua struktur gambaran T1 dan T2, MRI optimal untuk evaluasi struktur anatomi pasien dengan nyeri hebat dan bengkak pada penis.12
a. Integritas dari Tunika Albuginea12
Fedel et al melaporkan bahwa empat kasus yang menggunakan US, Cavernosography dan MRI, rupture korpus kavernosa dapat di identifikasi hanya dengan MRI. Pada gambar di bawah ini kita dapat melihat diskontinuitas sinyal rendah intensitas tunika albuginea (gmbr 10). Nampak gambaran MRI tunika albuginea dengan hematom intracavernosa lainnya (gmbr 11) atau hematom ekstratunica (gmbr 12).
10 11 12
Gambar 10,11,12 : Gambaran MRI pada rupture kavernosa
b. Ukuran dan Lokasi dari Robekan Tunika Albuginea12
MRI dapat menemukan ukuran, lokasi dan orientasi dari robekan tunika untuk konfirmasi bagi pembedahan. Robekan dapat berupa transversa (13) maupun longitudinal(14).
13 14
Gambar 13,14 : Gambar MRI robekan tranversa dan longitudinal dari korpus kavernosa
3. CAVERNOSOGRAPHY
Digunakan untuk mengetahui dimana letak ruptur. Kontras dimasukkan ke dalam korpus kavernosum dan dilihat apakah ada ekstravasasi kontras keluar dari tunika albuginea.13
Gambar 15 : cavernosografi pada penis normal
( Dikutip dari kepustakaan 14 )
VII. PENATALAKSANAAN3,6
a. Konservative
Gunakan kompres dingin pada penis; analgetik dan obat anti inflamasi; tidak berhubungan seksual selam 8 minggu hingga sembuh.
b. Pembedahan
Membuka tempat fraktur di tunika albuginea, keluarkan hematom, dan tutup defek pada tunika.
Gambar 16 : Laserasi transversum pada corpus cavernosum kiri yang disebabkan oleh fraktur penis, berhasil di perbaiki dengan circumcision incision.
( Dikutip dari kepustakaan 3 )
Insisi distal sirkumsisi sangat tepat pada kebanyakan kasus, dengan membuka ketiga bagian dari penis (Morey et al, 2004). Menutup defek tunika secara interuptus menggunakan benang absorban 2-0 atau 3-0; ligasi vaskularisasi corporal atau debridement yang berlebih pada jaringan erektil harus dihindari. Sebagian kerusakan uretra sebaiknya di perhatikan baik menggunakan jahitan absorban hingga kateter uretra. Kerusakan lengkap uretra harus di debrid, mobilisasi, dan diperbaiki. Antibiotic spectrum luas dan tidak behubungan seksual selama 1 bulan.
VIII. KOMPLIKASI
Fraktur penis adalah keadaan darurat dan pembedahan untuk memperbaiki harus dilakukan dengan segera. Keterlambatan dalam penanganan akan meningkatkan angka komplikasi. Non pembedahan mengakibatkan 10% - 50% angka komplikasi mencakup disfungsi ereksi, kurvatura penis yang permanen, kerusakan uretra dan nyeri pada saat berhubungan seksual.2
IX. PROGNOSIS
Pembedahan yang cepat dapat mempercepat pemulihan, menurunkan angka morbiditas, memperkecil komplikasi dan menurunkan insiden jangka panjang curvatura penis ( Nicolaisen et al, 1983). Penanganan konservative dari fraktur penis menghasilkan curvatura penis lebih dari 10% pasien, abses atau plak 25% hingga 30% dan berobat di rumah sakit dalam jangka waktu panjang untuk penyembuhan (Meares, 1971).3